Merefleksi Emansipasi Kartini

Nurhilmiyah SH., MH

Abstract


Tulisan ini nyaris tidak saya selesaikan mengingat volume rutinitas pekerjaan yang kian hari semakin meningkat. Ditambah lagi dengan tugas utama saya mendidik generasi yang saya lahirkan sendiri. Saya tertantang oleh diri saya sendiri ketika mengingat zaman kuliah S1 dahulu, saya pernah diminta menjadi narasumber sebuah forum diskusi di suatu elemen gerakan eksternal kemahasiswaan di lingkungan kampus Gadjah Mada. Saya ingin mengetes sejauh mana ingatan saya dalam menganalisis isu kesetaraan gender yang selalu hangat dibicarakan orang menjelang atau setelah peringatan Hari Kartini.

Ada satu buku menarik, menimbulkan polemik, namun berkesan di hati saya. Membiarkan Berbeda. Waktu itu saya memberikan kode wajib beli pada buku ini. Tidak sekadar wajib baca saja. Dikarang oleh seorang perempuan cerdas yang segera menjadi salah satu idola saya setelah saya melahap habis isi bukunya. Pelopor pendidikan holistik berbasis karakter yang sedang menjadi tren sekarang ini. Dia adalah Ir. Ratna Megawangi, M.Sc., Ph.D. Profil beliau ingin sekali saya jadikan role model tapi rasanya bagaikan pungguk merindukan bulan, antara saya dan beliau begitu jauh perbedaannya.

Ibu empat orang anak yang menamatkan S2 dan S3-nya di Tufts University, Massachussets, Amerika Serikat ini justru makin teguh dengan konsepnya memperkuat institusi keluarga pada saat ia menimba ilmu di negeri barat. Tentunya hal ini tak lepas dari aktivitas kesehariannya sebagai dosen Mata Kuliah Pengantar Ilmu Keluarga di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga di IPB.

Saya merasa beruntung mengenal beliau meski hanya dari karyanya. Karena dari pemikirannya itulah saya menemukan sudut pandang baru tentang relasi gender yang rasanya pas sekali untuk perempuan Indonesia. Tanpa perlu ngotot meminta hak untuk total disetarakan, karena laki-laki dan perempuan memang diciptakan untuk saling bekerjasama, bukan untuk saling bersaing secara diametral, tetapi berdampingan dengan perbedaan fisik yang telah dikaruniakan Allah SWT. Kesetaraan dalam keragaman.

Setiap tanggal 21 April kita memperingati Hari Kartini. Sedari mengenyam pendidikan dasar, para guru menceritakan sosok perempuan Indonesia yang menjadi simbol kebangkitan semangat perubahan kaum perempuan. Kumpulan surat-surat Kartini untuk sahabat-sahabat korespondensinya, antara lain Rosa Abendanon dan Estella H. Zeehandelar di Belanda sungguh fenomenal, Habis Gelap Terbitlah Terang. Surat-surat tersebut menjadi satu buku. Diakui bahwa sedikit banyak, pemikiran Kartini dipengaruhi pemikiran sahabat-sahabat Yahudinya itu. Namun tulisan ini tidak hendak memfokuskan diskusi pada bahasan tersebut.

Perempuan yang hidup setelah era Kartini merasakan efek kebangkitan spirit dahsyat emansipasi. Pemikiran kartini mengubah mindset bahwa perempuan yang sebelumnya hanya berkutat di tiga area ur-meminjam istilah seorang ulama kondang- di sumur, di dapur dan di kasur, menjadi leluasa berkiprah di ranah publik sebagaimana halnya laki-laki. Perempuan bisa bersekolah setinggi-tingginya, berkreativitas, bekerja di luar rumah dan melahirkan ide-ide inovatif dari pikirannya.


Keywords


Emansipasi Kartini

Full Text:

PDF

References


-


Refbacks

  • There are currently no refbacks.